Muara Karuhun Ajarkan Orang untuk Tidak Korupsi

Diposting pada

Serang–Komunitas Kembali sebagai komunitas yang fokus bergelut di bidang pertunjukan teater berhasil menyuguhkan garapan teater bertajuk Muara Karuhun. Pertunjukan Muara Karuhun ini merupakan upaya alih wahana dari cerpen yang ditulis oleh Akademisi Untirta, Farid Ibnu Wahid.

Pertunjukan Muara Karuhun ini merupakan agenda roadshow Komunitas Kembali ke berbagai kantung atau pusat kegiatan seni di Banten seperti Rumah Dunia (Kota Serang) Sanggar Seni Budaya Kota Cilegon dan Teater Guriang (Lebak).  Komunitas Kembali juga berkolaborasi dengan beberapa pegiat seni lainnya seperti musisi, ilustrator dan pegiat teater lainnya. Pertunjukan yang dipimpin oleh Arif Sodakoh ini juga melibatkan aktor yang notabene adalah mahasiswa Untirta di antaranya Ismiati Pratiwi (Pendidikan Bahasa Indonesia), Ali Akbar (Pendidikan Bahasa Indonesia), dan Rezky Ardiansyah (Perpajakan).

Imaf M Liwa, sebagai salah satu pendiri Komunitas Kembali, sekaligus sutradara dalam pertunjukan Muara Karuhun mengatakan, pertunjukan Muara Karuhun hadir karena bermula dari sebuah keresahan saat pandemi Covid-19 datang.

“Kegelisahan muncul ketika saya tidak melakukan apa-apa. Maksudnya adalah ketika pandemi kita dituntut untuk diam di rumah. Saat itu terpikir oleh saya adalah naskah dari Pak Farid ini. Kemudian lahirlah garapan Muara Karuhun ini,” kata Alumnus Untirta ini usai pertunjukan di Auditorium Surosowan Rumah Dunia, Selasa malam (22/2/2022).

Muara Karuhun yang ditulis oleh Farid ini dalam pandangannya berdasar pada cerita rakyat dan topomini di Desa Muara, Kabupaten Lebak, Banten. Ia menjelaskan, maksud dari topomini ini adalah cabang onomastika yang menyelidiki asal usul nama tempat. Toponimi ini termasuk sastra lisan yang memiliki beragam nilai ajaran hidup yang kemudian akhirnya menjauh seiring perkembangan zaman.

“Saya tertarik dengan naskah ini karena ada banyak pesan ‘karuhun’ di dalamnya, di antaranya adalah bagaimana kita untuk menyikapi hidup ‘kudu hade’ atau harus benar dan taat atas segala yang telah diatur oleh Tuhan,” jelasnya.

Di sisi lain, usai pertunjukan itu, ia memang tidak bisa menutup kebahagiaannya meski ia menilai garapan masih harus terus diperbaharui. Ia juga bersyukur banyak pihak baik dari pemerintah maupun komunitas seni lainnya turut mendukung garapan ini. Ia pun berharap ada banyak pertunjukan lain selain Mura Karuhun hadir di tanah para karuhun ini.

“Tentu kami berterima kasih kepada semua yang mendukung. Semoga teater di Banten semakin ramai lagi, banyak yang apresiasi dan semarak,” ungkapnya.

Sementara itu, Farid menuturkan, naskah yang terkandung dalam Muara Karuhun adalah nasihat orang tua dalam tuntunan hidup. Menurutnya, jika ingin sukses dan benar dalam menjalani hidup maka kuncinya adalah mendengar apa kata orang tua.

“Kenapa saya sebut Muara Karuhun, karena orang tua itu karuhun, kita itu berpusat kepadanya,” tutur Farid yang juga merupakan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untirta.

Pada tulisannya, Farid memang banyak menyuguhkan tentang nasihat-nasihat orang tua dan menampilkan sosok Kang Darman dalam ceritanya. Kang Darman dikisahkan sebagai orang baik, taat dan kebanggaan orang Muara Karuhun, tetapi reputasi itu ia rusak karena ketika menjadi seorang pejabat, menjadi seorang bupati, ia malah berkhianat.

“Kalau menurut naskah ini jangan korupsi, siapa pun itu. Saya contohkan Kang Darman yang merupakan orang baik, tetapi kalau sudah dalam posisi enak malah lupa. Jadi, kurang lebih juga ini memberikan pesan juga bahwa kita harus selalu ingat Tuhan, mau putih mau hitam atau segala macam itu, kita ada dalam pengawasan Tuhan. Saya harap kita selalu mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya,” ujar Farid yang juga merupakan Dosen Apresiasi Drama Indonesia PBI FKIP Untirta ini.(HI/AAP/VDF)/(Foto:KK).