Dilema (Bangsa) dalam Kemajuan Digital

Diposting pada

Oleh Hilman Irmansyah, M.K.P.*

Orang-orang di reels, tiktok dan yutub, mereka diliput oleh cahaya dan kisah-kisah yang menakjubkan. Berapakah menakjubkan kebahagiaan mereka. Kita menjadi semu belaka. (Fathul Qorib, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi)

Di Jalan Otto Iskandardinata, Gerendeng, Karawaci, Kota Tangerang, Banten, menjadi tempat terakhir remaja berinisial Y (18 tahun) bertemu dengan teman-temannya. Sebab, di jalan itu, ia harus meregang nyawa karena tertabrak truk. Mirisnya, dalam video singkat yang beredar, ia memang menabrakkan diri saat truk melaju demi konten digital mereka.

Aksi pengguna media digital di Indonesia memang beragam dan unik. Terbaru, atas kecelakaan yang terjadi dengan putra Sulung Ridwan Kamil, Eril Khan yang tenggelam di Sungai Aare, Swiss, netizen kita langsung memberikan komentar buruk, serta rating minim di Google Maps terhadap sungai tersebut. Bukan hanya soal itu saja, bisa kita lihat ketika ada acara live di YouTube, atau acara-acara lain yang dihidangkan secara daring, komentar pedas, bahkan sampai yang serampangan seringkali bermunculan.

Berdasarkan penelitian Katadata Insight Center Kominfo (November, 2020), terkait status literasi digital di Indonesia dengan survei di 34 provinsi, memang literasi Digital di Indonesia belum sampai level “baik”. Sub-indeks Informasi & Literasi Data skornya paling rendah. Responden di wilayah tengah skornya lebih tinggi daripada barat dan timur.

Penelitian ini diamini dengan adanya hal-hal aneh yang dilakukan oleh netizen kita seperti menyebar berita hoaks, menyebarkan kebencian, menyebarkan konten pornografi (memamerkan bagian tubuh sensitif) dan lain sebagainya. Demi konten, seringkali netizen kita yang pintar pun rela menjadi terlihat bodoh dan gila.

Di satu sisi, laju digitalisasi tidak bisa dibendung. Mau dilarang atau dihentikan tidak akan bisa karena itu adalah bagian dari arus zaman. Sialnya, individu kita yang lahir, bertebaran dan tumbuh dalam bangsa yang besar ini adalah orang yang suka bicara. Akhirnya, ketika kebiasaan berbicara itu disediakan wadahnya dalam bentuk media sosial yang lebih mudah dan bebas, maka terjadilah penggunaan yang sembrono dan bablas.

Menurut pimpinan saya di Humas Untirta, Adhitya Angga Pratama, yang merupakan master ilmu komunikasi, kemajuan digital dengan perilaku kita dalam penggunaannya adalah sebuah konsekuensi logis. Konsekuensi logis artinya adalah yang paling mendasar ketika saat ini populasi kaum muda atau kita sebut dengan bonus demografi berbanding lebih besar dari generasi tua. Menurutnya, jika dulu malah generasi tua lebih banyak dan generasi muda masih sedikit. Ditambah dengan dulu tidak ada medsos dan nilai-nilai luhur pun masih terjaga akhirnya hal-hal positif dan etika dalam berbangsa pun begitu masih terasa kuat.

Bangsa kita yang memiliki semboyan Pancasila, ramah, berbudi luhur akhirnya dengan berat hati terlihat menjadi ‘bandit’ ketika masuk dalam kurungan digital. Seolah-olah digitalisasi ini akhirnya terkesan punya misi mengikis dan menghilangkan identitas bangsa Indonesia. Memang demikianlah digitalisasi atau yang lebih luas bisa kita sebut dengan globalisasi.

Dunia bergerak maju dan sepertinya harus kita terima dengan lapang dada. Namun, setidaknya dalam kondisi yang tidak mengenakan ini kita berusaha untuk menjadi pribadi yang bijak dalam penggunaan digital. Menahan diri untuk tidak emosi dan macam-macam dalam penggunaan konten digital adalah hal yang bijak untuk dilakukan. Sementara dari sisi aturan tentu pemerintah pun sudah mengeluarkan dan menjalankan hal tersebut, tetapi satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah kita butuh influencer.

influencer dalam KBBI diartikan sebaagi pemengaruh, orang yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan atau merekomendasikan sesuatu. Orang yang memiliki followers atau pengikut yang ramai dan punya pengaruh besar untuk mereka. Maka untuk mengantisipasi, atau setidaknya mengurangi hal-hal negatif dalam penggunaan media sosial, pemengaruh ini punya peran ekstra dengan apa yang ia kreasikan pada kontennya. Sebab, apa yang ia lakukan, otomatis akan diikuti oleh para pengikutnya. Semoga kita juga bisa memengaruhi pengguna media sosial dengan hal yang positif.(*)

*Penulis merupakan staf Humas Untirta dan editor Untirta Press.