Sekilas Tentang Revolusi Mental Pelayanan Publik dalam Budaya Kerja

Diposting pada

Depok, (19/04/2021) – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar pelatihan tentang Revolusi mental dalam pelayanan publik selama satu minggu pada tanggal 19 – 24 April 2021 di Pusat Pendidikan dan Latihan  Pegawai Kemendikbud. Sebagaimana diketahui bahwa revolusi mental termasuk dalam program nawacita presiden joko widodo. Kini menginjak periode kedua revolusi mental mengarah kepada pelaksanaan pelayanan publik. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu kementerian yang memiliki Struktur Organisasi Tata Kerja yang luas dan berorientasi pada pelayanan publik sudah selayaknya menerapkan revolusi mental  sebagai pondasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian tersebut.

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa bersama universitas lain yang ditunjuk oleh Kemendikbud mendapat kesempatan mengirim dua orang pegawainya sebagai perwakilan guna mengikuti Pelatihan Revolusi Mental Pelayanan Publik.  Perwakilan tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi embrio dalam penerapan revolusi mental dikampusnya masing –masing. Selain itu perlunya pemahaman terhadap revolusi mental secara komprehensif agar terjadi sinergi pencapaian harapan yang lebih baik.

Revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah tidak lahir tanpa sebab akan tetapi ia merupakan jawaban dari tiga masalah pokok bangsa yakni merosotnya wibawa Negara, lemahnya sendi perekonomian bangsa, dan intolerensi serta krisis kepribadian bangsa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa  praktik praktik  dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara banyak dibumbui oleh ketidakjujuran, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggungjawab, tidak dapat diandalkan dan tidak bisa dipercaya. Etos kerja keras, daya juang, daya saing, semangat mandiri, dan kualitas semangat, serta semangat inovatif juga menjadi suatu yang langka dalam budaya perekenomian. Kondisi tersebut menyebabkan kita menjadi krisis identitas dimana mulai lunturnya karakter bangsa yang kuat, kurang mempunyai semangat gotong royong, tidak adanya saling bekerjasama demi kemajuan bangsa. Untuk itu perlunya mengembalikan karakter dan budaya kerja Bangsa Indonesia khususnya dalam pelayanan publik dengan revolusi mental

Menilik makna dari Revolusi mental itu sendiri adalah suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah & rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara  untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Revolusi mental dapat diartikan juga sebagai gerakan mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku setiap orang untuk berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi Bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa di dunia. Setidaknya terdapat 8 prinsip dalam revolusi mental yakni :

  1. Revolusi mental Bukan proyek tapi gerakan sosial
  2. Ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah
  3. Harus bersifat lintas-sektoral, tidak boleh diserahkan pada kementerian tertentu
  4. Bersifat partisipatoris (kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, sektor privat dan akademisi)
  5. Diawali program pemicu (value attack)
  6. Desain program harus ramah pengguna (User Friendly), populer, menjadi bagian dari gaya hidup dan Sistemik-Holistik
  7. Nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan sosial (moralitas publik)
  8. Dapat diukur dampaknya.

Dalam pengimplementasian prinsip prinsip tersebut, revolusi mental memiliki tiga focal point revolusi mental yakni Menko PMK sebagai Ketua Tim Koordinasi Revolusi Mental (sesuai arahan Presiden pada Sidang Kabinet 19 Januari 2015), Dalam pelaksanaanya Menko PMK dibantu tim kerja Revolusi Mental, dan diharapkan K/L menunjuk PIC dan membentuk gugus tugas (sebagai agen pelaku revolusi mental). Mengacu pada tiga focal point tersebut maka strategi internalisasi nilai revolusi mental khususnya pada jalur birokrasi dapat melalui seluruh kegiatan  pendidikan dan pelatihan (capacity building) yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah dan melalui program-program nyata K/L baik infrastruktur maupun bansos

Adapun peran dari revolusi mental dalam membangun budaya kerja institusi adalah mendorong perubahan sikap dan perilaku aparatur  untuk meningkatkan kinerja (orientasi outcome). Dalam hal ini Diperlukan sosok aparatur pemerintah yang mampu melaksanakan tugas secara profesional dengan dilandasi kaidah, nilai dan norma dalam rangka terciptanya etika kerja yang penuh tanggung jawab, sebagai suatu budaya kerja aparatur.

Perubahan pola pikir dan perubahan budaya kerja diharapkan akan menghasilkan birokrasi yang berintegritas dan berkinerja tinggi. Sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari nilai nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas pekerjaan sehari- hari sebenarnya merupakan hakekat dari Budaya kerja itu sendiri sehingga pada hakekatnya budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi juga merupakan suatu komitmen organisasi dalam upaya membangun SDM, proses kerja, dan hasil kerja.