DWP Ditjen Diktiristek Ajak Untirta Dukung Implementasi Permendikbudristek PPKS

Diposting pada

Jakarta – Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) beserta Ketua dan Sekretaris Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) mengikuti webinar nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dilaksanakan oleh DWP Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) pada Selasa (6/12/2022) sebagai bentuk kepedulian terhadap para korban kekerasan atau pelecehan seksual.

Ketua Umum DWP Pusat, Franka Makarim berharap webinar ini mampu memperkaya wawasan perempuan terkait isu kekerasan seksual, dan memberikan pemahaman mengenai peran perempuan dalam membantu para korban kekerasan seksual bangkit dari trauma yang dialami, baik dalam bentuk dukungan emosional maupun moril.

“Dalam pembahasan mengenai anti kekerasan seksual di perguruan tinggi, salah satu yang saya ingin tekankan adalah kalau misalnya kita sudah membangun ekosistem yang baik, dari segi landasan hukum sudah kita berikan, dari segi niat sudah kita berikan, harus kita jemput bola nya dengan cara lebih mempercayai lagi mereka yang jadi korban,” ungkap Franka.

Katarina Girsang, Inspektur Jenderal Kemendikbud selaku narasumber menekankan pentingnya memahami dan menyamakan persepsi tentang definisi kekerasan seksual sebagai bagian dari kekerasan karena hal ini akan memengaruhi pandangan dan cara penanganan kasus kekerasan seksual.

Katarina turut menyoroti penanganan kasus kekerasan seksual di kampus yang tidak berpihak kepada korban karena kesulitan membuktikan kasus dan rendahnya dukungan kepada korban. “Dukungan yang sangat lemah inilah yang mendorong kami menerbitkan regulasi,” ujarnya. Rendahnya dukungan terhadap korban ini tecermin pada bagaimana pihak kampus cenderung memilih menutupi kasus kekerasan seksual yang dianggap dapat merusak citra institusi. Menyikapi fenomena ini, Katarina mendorong pihak kampus untuk menyelesaikan kasus alih-alih menyembunyikannya sebab hal ini akan mengundang kemungkinan tindakan kekerasan seksual selanjutnya. “Problem-nya adalah pihak kampus selalu mengatakan kampus kami tercemar. Justru jika ingin menjaga marwah kampus, lakukan penanganan bukan dengan mendiamkan atau tidak mempublikasikan,” tegasnya.

Katarina berharap Satuan Tugas (Satgas) PPKS yang telah dibentuk di perguruan tinggi mampu menunjukan keberpihakan kepada korban dengan mendengarkan keterangan korban tanpa menghakiminya. “Satgas harus berpihak kepada korban dan harus percaya dulu kepada korban. Sekalipun kita ragu, simpan dalam hati dan jangan tertuang kepada pernyataan. Jadi memang perlu ada pengembangan kapasitas satgas,” imbaunya.

Prof. Dr. Emi Susanti, Guru Besar Sosiologi Gender di FISIP UNAIR yang turut hadir sebagai narasumber menilai kekerasan seksual di perguruan tinggi perlu mendapat perhatian tinggi karena dampak yang muncul dapat berlangsung panjang, mendalam, dan berbahaya. “Kalau kita bicara dampak, dampak negatif yang terjadi di perguruan tinggi sangat buruk karena isinya adalah intelektual yang dia sebenarnya adalah agen perubahan sosial untuk bangsa ini. Kalau kekekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi, ini bisa menjadi contoh buruk. Perguruan tinggi tidak bisa menjalankan fungsi sebagai agent of social change, sehingga perguruan tinggi perlu mendapat perhatian utama karena ia merupakan core agen perubahan sosial,” ungkapnya.

Emi pun memaparkan realitas kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan dalam tiap masa kehidupan, mulai dari lahir, anak-anak, akil balik, dewasa, hingga lanjut usia. “Anak perempuan lebih banyak dibebani tugas-tugas domestik, bukan anak lelaki. Ini disebut diskriminasi gender pada anak usia SD. Di wiliayah pesisir, banyak anak yang drop out dan kebanyakan adalah perempuan,” ceritanya.

Ia mengungkapkan kekeliruan persepsi mengenai jenis kelamin dan gender yang masih terjadi di tengah masyarakat, sehingga menimbulkan kekerasan berbasis gender itu sendiri. “Banyak yang tidak bisa memisahkan atau tertukar antara jenis kelamin dengan gender. Perbedaan seks hanya menyoroti perbadaan biologis yang tidak bisa ditukar. Sedangankan gender menyoroti status sosial laki dan perempuan yang dikonstruksi sosial dan ini bukan kodrat. Jadi jangan sampai lagi kita mengatakan anak perempuan sekolahnya rendah aja, gak perlu tinggi karena nanti akan menjadi ibu,” jelasnya.

Dengan maraknya kejadian kekerasan berbasis gender, Prof. Emi mengajak masyarakat, khususnya perguruan tinggi untuk menerapkan konsep kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan memberikan kebebasan kepada semua orang, termasuk laki-laki dan perempuan, anak-anak, lansia, difabel, minoritas, komunitas miskin, dan komunitas rentan lainnya, untuk mengembangkan kemampuan pribadi tanpa dibatasi oleh stereotip.

Gender equality harus menjadi tujuan pembangunan manusia. Kita harus membuka bahwa kekerasan berbasis gender akarnya adalah kesetaraan gender. Konsep inklusi sosial itu adalah dipertimbangkan, bukan dibedakan, sehingga fasilitas-fasilitas itu memfasilitasi kepentingan kelompok retan. Perempuan dan laki-laki harus diperlakukan sama dalam segi hak, tanggung jawab dan peluang, partisipasi, dan mendapatkan hak,” pesan Emi. (SAC/ AAP/ VDF)