Diskusi Semi-Online Criminal Law Students Association (CLSA) FH Untirta dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten  hadirkan M. Uut Lutfi, S.H., M.H. (Ketua LPA Prov. Banten) dan Fairuz Lazuardi Nurdani (Ketua CLSA FH Untirta)

Diposting pada

Kamis, 13 Agustus 2020, Criminal Law Students Association (CLSA) Fakultas Hukum Untirta bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten, telah menyelenggarakan Diskusi Semi-Online. Menghadirkan narasumber M. Uut Lutfi, S.H., M.H. (Ketua LPA Prov. Banten) dan Fairuz Lazuardi Nurdani (Ketua CLSA FH Untirta)

Tema diskusi yang diangkat adalah Potret Sistem Perlindungan Anak di Banten, pembahasan yang di diskusikan perihal Paradigma Hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan kondisi objektif perlindungan anak di Banten.

Pada kesempatan diskusi tersebut, Fairuz memberikan penjelasan mengenai perubahan paradigma hukum di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang masih menganut pendekatan Retributive Justice menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Restorative Justice yang saat ini digunakan.

    Menurutnya, Sistem Peradilan Pidana Anak satu langkah lebih maju ketimbang sistem peradilan pidana biasa, hal itu disebabkan karena dengan diakomodirnya pendekatan Restorative Justice yang mengedepankan upaya penyembuhan untuk mengembalikan keadaan seperti semula bagi para pihak maka SPPA dapat mengadopsi konsep Diversi. Diversi itu sendiri adalah penyelesaian konflik anak yang diduga melakukan tindak pidana melalui musyawarah dan bukan melalui jalur formal. Lalu ia menambahkan, tujuan diversi adalah meminimalisir anak dari penahanan, menghindari labelling terhadap anak serta membentuk kesadaran anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi.

Selanjutnya, M. Uut Lutfi menjelaskan mengenai persyaratan diversi yaitu apabila ancaman pidana nya dibawah 7 tahun penjara dan bukan pengulangan tindak pidana. Pada proses teknisnya konsep diversi juga begitu banyak menghadapi polemik, yaitu ketika terjadi perbedaan keinginan antara pihak keluarga anak korban dan anak pelaku dalam mencapai kesepakatan penyelesaian perkara sehingga diversi kerapkali tidak mencapai solusi.

    Lalu menurutnya, anak yang menjadi pelaku tindak pidana sejatinya ia adalah korban, karena anak yang menjadi pelaku itu akibat dipengaruhi banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal anak. Terlebih kondisi anak di Banten yang dianggap saat ini begitu memprihatinkan, maka disarankan agar pemerintah khususnya di Kota Serang membentuk Satgas (Satuan Petugas) untuk memfasilitasi anak khususnya anak jalanan agar terjamin pendidikan, kesehatan serta kebutuhannya yang lain dalam rangka pemenuhan hak-hak anak itu sendiri.

    Pada sesi terakhir diskusi, M. Uut Lutfi dan Fairuz sama-sama berpesan baik kepada orang tua agar lebih mengkontrol anak dalam mengakses internet agar anak tidak bebas mengakses konten yang negatif, hal ini demi membentuk karakteristik anak yang baik dan para pembicara juga berpesan kepada pemangku kebijakan di wilayah setempat agar lebih sensitif melihat keadaan anak yang saat ini di Banten khususnya Kota Serang begitu memprihatinkan agar mencari solusi penyelesaian yang tepat untuk menanganinya baik membuat terobosan dalam bentuk produk hukum ataupun kerja nyata lainnya demi memenuhi hak-hak anak.

Acara kuliah umum yang berlangsung sekitar 2 jam 15 menit, mulai pukul 15.30 – 17.45 WIB dan dimoderatori oleh Rambo Banten.  berjalan dengan lancar dan tertib. Adapun peserta yang mengikuti kuliah umum terdiri dari dosen, mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, UIN Kota Serang, UPI Kota Serang, hingga elemen masyarakat.